MELIHAT KEBERAGAMAN LEBIH DEKAT
MELIHAT KEBERAGAMAN LEBIH DEKAT
Rasanya wajar untuk mengatakan bahwa dimanapun kita tinggal, selalu ada keberagaman di dalamnya, entah suku, agama, warna kulit, gender, budaya, status sosial ekonomi, dan sebagainya. Menghadapi keberagaman tersebut memang bukan sesuatu yang sederhana. Beberapa orang menganggap keberagaman dapat menjadi sumber kekayaan yang dapat memajukan peradaban suatu kelompok atau negara, namun beberapa lainnya beranggapan bahwa keberagaman berpotensi untuk memunculkan kesalahpahaman dan konflik. Persepsi yang berbeda-beda terhadap keberagaman turut menentukan pula sikap dan perilaku kita dalam menghadapi hal tersebut.
Disadari atau tidak, setiap orang memiliki sikap terhadap suatu kelompok. Ada suatu istilah yang disebut prasangka, yaitu sikap negatif terhadap kelompok tertentu atau seseorang semata-mata karena keanggotaannya dalam kelompok tertentu (Baron & Byrne, dalam Sarwono, 2002). Prasangka timbul karena penilaian yang tidak berdasar. Sebelum menilai dengan cermat sudah mengambil keputusan sehingga terjadi penyimpangan pandangan (bias) dari kenyataan yang sesungguhnya. Bukankah kita masih mendengar ada yang berkata: “ah, orang Tionghoa itu pelit dan mata duitan” atau “jangan berteman dengan Muslim, mereka itu fanatik”. Adanya prasangka negatif seperti ini dapat memicu perilaku yang negatif pula terhadap orang atau kelompok yang berbeda dari kita. Dampaknya bisa mengganggu hubungan interpersonal atau antar-kelompok, bahkan bisa memecah-belah kesatuan suatu negara.
Persepsi dan sikap terhadap keberagaman bisa jadi diturunkan dari orangtua kepada anak. Bagaimanapun, orangtua adalah contoh paling signifikan untuk anak. Jika orangtua menunjukkan sikap bermusuhan dan menutup diri pada keberagaman, anak dapat meniru sikap yang sama juga. Misalnya, di sekolah anak bersikap kaku dan hanya mau berteman dengan orang yang sesuku atau seagama dengan dirinya. Lingkungan pertemanan dan wawasannya jadi terbatas. Sebaliknya, jika orangtua menanamkan bahwa keberagaman itu baik dan patut dihargai, anak juga belajar mengembangkan sikap dan perilaku yang positif menghadapi keberagaman. Anak melihat perbedaan sebagai sesuatu yang tidak perlu ditakuti atau dibenci. Saat anak beranjak remaja dan dewasa, mereka dapat menjadi lebih toleran, empatik, adaptif, dan menghargai setiap orang. Kemampuannya bekerja sama dengan orang lain lebih baik, ini tentu saja mendukung kesuksesan anak di masa depan.
Peran orangtua untuk mengajarkan toleransi kepada anak tidak hanya saat mereka kecil saja. Ketika anak memasuki usia mahasiswa, salah satu perkembangan yang terjadi pada mereka adalah perkembangan moralitas. Mereka mulai menelaah, mengkritisi, dan membentuk kembali nilai-nilai atau prinsip yang sesuai dengan diri mereka. Hal ini diperoleh dari pengalaman diri sendiri atau melihat pengalaman orang lain. Ada yang dapat menguatkan persepsi sebelumnya, ada pula yang bertolak belakang dari apa yang mereka tahu selama ini. Apalagi di perkuliahan semakin besar keberagaman yang terjadi. Jadi, peran dan kebijaksanaan orangtua tetap besar untuk membimbing mereka agar bisa mengembangkan sikap yang tepat terhadap keberagaman.
Terdapat tiga proses untuk memahami keberagaman (Russell-Chapin, 2017). Ini bisa dijadikan pemikiran untuk orangtua membimbing mahasiswa mengenai toleransi terhadap keberagaman. Pertama, kesadaran. Semuanya dimulai dari pikiran bahwa setiap orang itu berbeda dan setiap perbedaan patut dihargai. Bukan berarti harus mengikuti nilai atau prinsip yang dianut orang lain. Oleh karena itu, penting pula untuk menyadari nilai-nilai yang dianut diri sendiri agar tidak mudah diombang-ambing. Kedua, pengetahuan. Untuk memahami keberagaman, berarti kita perlu mengetahui informasi dari orang-orang yang berbeda dari kita. Mempelajari budaya, tata krama atau nilai yang dianut kelompok yang berbeda dengan kita akan memberi pemahaman yang lebih baik sehingga tidak cepat menghakimi. Ketiga, keterampilan. Terdapat cara-cara berkomunikasi yang dapat dilatih untuk menjadi lebih sensitif dan lebih nyaman berkomunikasi dengan orang lain.
Betapapun beragamnya kita, terdapat kebutuhan-kebutuhan yang sama untuk semuanya, yaitu kebutuhan untuk dipahami, diterima, dihargai, dan diperlakukan setara. Orangtua dapat menjadi teladan utama untuk mengajarkan toleransi menghadapi keberagaman. Selain menjaga keharmonisan relasi individu ataupun kelompok, sikap toleran dan menghargai orang lain adalah salah satu hal yang menandakan kualitas diri seseorang.
Sumber:
Sarwono, Sarlito Wirawan. (2002). Psikologi Sosial: Individu dan Teori-teori Psikologi Sosial. Jakarta: Balai Pustaka
Russell-Chapin, Lori. (2017). How Do We Learn to Appreciate Each Other’s Differences. www.psychologytoday.com
Gambar: http://www.taliber.com/leaders-ready-embrace-diversity/
Published at :
SOCIAL MEDIA
Let’s relentlessly connected and get caught up each other.
Looking for tweets ...