MANAJEMEN STRES PADA MAHASISWA
“Ma, pusing banget ngerjain tugas mata kuliah ini”
“Rasanya kok aku gak bisa-bisa ngerti ya sama materinya. Stres deh!!”
“Aku rasanya gak bisa tidur kalau mikirin besok ujian”
Apakah kita pernah mendengarkan anak kita mengucapkan hal di atas? Mungkin beberapa kalimat pernah kita dengar ataupun tidak. Anak kita, sebagai mahasiswa, acapkali mengeluh atau berujar bahwa dirinya merasa tertekan. Pada fase ini, seorang mahasiswa akan menghadapi berbagai tantangan baru. Pertama, proses adaptasi ketika menjadi mahasiswa baru seperti tinggal jauh dari orangtua, menyesuaikan jadwal kuliah yang berbeda-beda, mencari teman baru, atau mengatur keuangannya sendiri. Kedua, ketika menghadapi tugas kuliah atau berusaha mendapatkan nilai yang tinggi. Ketiga, berkaitan dengan cita-cita atau tujuan mahasiswa setelah lulus kuliah. Mereka akan mencari inspirasi dan kesempatan lowongan pekerjaan yang sesuai dengan dirinya. Jika kita berada di posisi mereka, sangat mungkin bagi kita untuk merasa bingung maupun tertekan atau yang umum disebut sebagai stres.
Stres merupakan suatu keadaan di mana sumber daya yang miliki oleh seseorang tidak dapat mendukung keinginan yang ingin dicapai. Misalnya, seorang mahasiswa ingin mendapatkan nilai A tetapi ia malah dapat C. Terjadi kesenjangan antara apa yang diinginkan terhadap kemampuan yang dimilikinya. Pada dasarnya, individu dapat memberikan respon yang berbeda pada setiap permasalahan yang dihadapinya. Terdapat dua respon yang biasa mucul, yaitu individu akan menghadapi atau menghindar dari permasalahannya. Alangkah baiknya jika permasalahan yang mahasiswa hadapi menjadi kesempatan belajar bagi dirinya untuk menemukan solusi yang sesuai diri mereka karena nantinya mahasiswa perlu menjadi seseorang yang mandiri dan mampu mengambil keputusan secara tepat.
Stres dapat dinilai menjadi dua hal, yaitu bentuk stres yang positif (Eustress) atau bentuk stres yang negatif (Distress). Misalnya, seorang mahasiswa merasa stres dengan tugas Algoritma (sumber stres) yang diberikan oleh dosennya. Jika ia menilai sumber stres tersebut sebagai hal yang negatif (Distress), maka ia akan merasa terbebani dan motivasinya menurun. Namun, jika ia menilai sumber stres tersebut sebagai hal yang positif (Eustress), maka ia akan merasa semakin semangat serta tertantang untuk menyelesaikannya.
Terdapat dua cara yang biasa dilakukan seseorang untuk mengatasi stres, yaitu :
- Problem focused coping
“Pokoknya masalah harus selesai”
Cara ini lebih berfokus kepada pemecahan masalahnya. Bertujuan untuk mengurangi tuntutan dari situasi yang menyebabkan stres atau memperluas sumber daya yang dapat dimanfaatkan untuk menghadapinya (Sarafino & Smith, 2011). Misalnya, melakukan diskusi, mencari informasi mengenai cara belajar, bertanya ke dosen, dan lain sebagainya.
- Emotion-focused coping
“Yang penting aku tenang dulu”
Cara ini lebih fokus kepada pengendalian respon emosi ketika menghadapi stres. Misalnya, menonton TV, beribadah, mencari dukungan dari keluarga dan teman, berolahraga, menangis, curhat, jalan dengan teman, dan lain sebagainya.
Kedua cara di atas tidak selalu berdiri sendiri. Seseorang dapat menggunakan kedua cara tersebut secara bersamaan. Cara apa yang biasa dilakukan oleh anak? Kita boleh mengamati dan berbicara dengan anak ketika ia menghadapi stres. Kemudian dapat ditanyakan apakah cara yang biasa ia lakukan sudah berhasil dan efektif untuk menyelesaikan masalahnya. Alangkah baiknya jika orangtua dapat berdiskusi, sharing, dan melakukan evaluasi bersama dengan anak sehingga mereka juga belajar untuk memahami diri sendiri.
Lalu, apa saja yang dapat dilakukan orangtua bersama anak ketika menghadapi stres? Berikut beberapa hal yang dapat dipraktikkan:
- Dengarkan cerita anak dengan sepenuhnya
Berikan ruang dan waktu sepenuhnya untuk anak dapat bercerita mengenai masalahnya. Lebih baik orangtua mengenyampingkan pikiran pribadinya. Selain itu, jangan berikan pernyataan awal, seperti “Ah, kamu gitu aja kok gak bisa sih?” , “Kamu jangan galau gitu dong”, atau “Loh, kok kamu cengeng banget sih”.
- Menanyakan pendapat anak terhadap masalah tersebut
Setelah anak sudah selesai menceritakan perasaan serta masalahnya, berikan kesempatan anak dapat menyampaikan penilaiannya terhadap masalah tersebut. Seperti, sumber masalahnya dari mana, siapa yang harus bertanggung jawab terhadap masalah tersebut, dan lain sebagainya. Hal ini dapat melatih anak untuk berpikir secara kritis.
- Menanyakan usaha yang sudah dilakukan oleh anak
Orangtua dapat bertanya mengenai usaha-usaha apa saja yang sudah dilakukan anak selama ini. Apakah usaha tersebut sudah 100% dilakukan atau belum.
- Menanyakan sumber daya apa yang dibutuhkan oleh anak
Jika anak sudah melakukan usahanya namun masih belum berhasil, tanyakan sumber daya apa yang dapat dimanfaatkan oleh anak untuk membantu ia menghadapi stresnya. Seperti, dosen siapa yang bisa diajak berdiskusi, apakah ada tempat belajar untuk mahasiswa di kampus, teman siapa yang paling membuat nyaman untuknya bercerita, dan lain sebagainya.
- Melakukan evaluasi kembali
Setelah anak sudah diajak bercerita dan berdiskusi, lakukan evaluasi kembali mengenai usaha yang sudah dilakukan dan persentasi keberhasilannya.
Ketika kita menerima curhatan anak mengenai perkuliahannya, kita dapat melihat dulu respon-respon yang muncul pada dirinya. Jika ia merasa sedih, cemas, tidak semangat, berpikir tidak mampu secara terus menerus maka kita dapat mengajak ia untuk berdiskusi. Selain itu, perlu diperhatikan juga respon fisik yang muncul pada dirinya, seperti sulit tidur, selera makan berkurang, pusing, maupun tangan berkeringat karena merasa cemas. Jika respon tersebut muncul dalam waktu lebih dari empat minggu, sebaiknya kita dapat mengajak anak untuk bertemu dengan konselor maupun psikolog.
Sumber :
Sarafino, E. P. & Smith, T. W. (2011). Health Psychology: Biopsychosocial Interactions (7th ed.). USA: John Wiley & Sons, Inc.
https://www.psychologytoday.com/blog/the-campus/201110/stress-in-college-students
Published at :